Sebuah Esai dari Seorang Siswa
Main-Main
Sebuah Esai dari Seorang Siswa
----------------------------------------------------------------
Sebuah kumpulan cerpen yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu dan diterbitkan pada tahun 2004 sempat membuat komunitas pencinta sastra di Indonesia berdengung dengan ditandai dengan masuknya kumpulan cerpennya itu pada 5 besar penjualan buku dan sekarang, saya akan menulis esai mengenai buku tersebut.
Mari Kita Mulai
Kumpulan cerpen yang ditulis oleh mbak Djenar, dalam kata teman-teman saya; vulgar, porno, gak jelas. Tapi buat saya, cerpen-cerpen yang ditulis oleh mbak Djenar, yang menurut pengakuannya ditulis dengan metode sekali jadi, adalah kumpulan karya yang mencerminkan pergeseran nilai-nilai dan moral-moral yang bergerser di Indonesia pada umumnya dan di Jakarta pada khususnya.
Beberapa contoh cerpen yang menunjukkan bergesernya nilai-nilai moral tersebut bisa kita lihat di “Moral”, ”Staccato”, “Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)” serta di cerpen-cerpen lainnya yang nanti akan saya bahas...
Hal pertama yang akan saya singgung di sini adalah gaya tutur mbak Djenar pada beberapa cerpennya yang membawa terobosan dalam gaya penulisan baru yang ditampilkan pada “Staccato”. Dengan mengulang-ulang pernyataan yang sudah dibuatnya di kalimat sebelumnya, tapi terkadang juga menambahkan detail-detail pada kalimat selanjutya. Tampak pada permainan kata ini.
Pagi. Rokok. Kopi. Gosok gigi. Mandi. Apalagi? Pagi. Rokok. Kopi. Tidak gosok gigi. Tidak mandi. Tidur lagi. Hmmm... normal sekali. Pagi. Rokok. Kopi. Tambah roti. Supaya ada energi. Lari pagi dong... badan sehat. Jantung sehat. Banyak rokok. Banyak minum wiski malam tadi. Nanti dulu! Kalau banyak minum alkohol mana mungkin bisa bangun pagi? Berarti tidak ada alkohol. Tidak ada party. Pagi. Rokok. Kopi. Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Wangi. Birahi. Wah.. mana pasangannya? Pagi. Birahi. Kelamin saling silahturahmi.Tidur lagi. Di mana? Kamar Dong! Mosok di taman? Party. Whiskey. Birahi.
Seperti yang bisa dilihat dari contoh di atas, sebagian besar cerpen Djenar lainnya yang menggambarkan wanita metropolis alkoholis yang hedonis dengan perkawinan berantakan dan seperti yang digambarkan pada paragraf terakhir “Saya di Mata Sebagian Orang” frustasi, depresi, dan dalam keadaan marah terhadap dunia.
Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang akhirya menyatu menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta, saya hampir beralih dari apa yang selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena ketika saya positif mengidap HIV ternyata masih ada yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah kejadian lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!
Dari paragraf terakhir ini, cerita yang tadinya menggambarkan kebahagian, berujung pada sebuah protes terhadap orang yang sibuk bergunjing. Selain menepis pendapat sebagian orang tentang dirinya sendiri, Djenar lewat paragraf terkhir ini saya rasakan ingin menyatakan pula bahwa dirinya bukanlah seorang penulis murahan, Djenar juga ingin menyampaikan bahwa ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) bukanlah orang-orang murahan. Hal yang sama juga pernah dilontarkan oleh penulis-penulis sebelumnya, seperti “Aku ini Binatang Jalang” karya Chairil yang sedikit banyak bisa jadi merupakan inspirasi dari cerpen ini.
Banyak orang yang beranggapan bahwa cerpen karya Djenar terlalu vulgar. Hingga batas tertentu ya, Tapi juga harus diingat bahwa selain Djenar, Indonesia memliki banyak penulis wanita yang berani tampil ‘beda’ seperti Dee, Fira Basuki, dan penulis-penulis muda lainnya. Tapi apa yang membuat para penulis muda in berbeda dengan fenomena tahun 50-60 an yang kurang lebih sama ‘berani’nya? Ketika ditinjau dari gaya bahasanya, penulis sekarang (circa. 2000) telah membunuh sebagian kreatifitasnya. Dengan secara eksesif menggunakan kata-kata vulgar seperti dalam “Menyusu Ayah”. Ketika membaca cerpen ini, seorang akan berfikir, apakah benar ada ayah yang begitu tega memperlakukan anaknya seperti itu, dan apabila kta cari di kota metropolis ini, ya, kita akan menemukan hal seperti ini. Kembali ke masalah vulgar, kita harus mengakui bahwa sejak dulu, unsur seks dan berbagai taboe yang beredar dalam masyarakat telah menjadi inti, nyawa dalam buku-buku yang beredar. Akan tetapi, sebelumnya, karya-karya tersbut dibrangus oleh pemerintah(terutama pada jaman ORBA) dan dicap sebagai karya picisan dan tidak memiliki arti apa-apa. Padahal terdapat di dalamnya pesan-pesan moral. Sekarang, buku-buku tersebut kembali dicari oleh pencinta sastra Indonesia. Tapi apakah masyarakat Indonesia siap menerima buku-buku seperti itu?
Seperti dalam karyanya yang berjudul “Payudara Nai-Nai” yang menjadi penutup dari buku cerpen ini, Djenar tampak sangat ingin mengekspolarasi sejauh mana ia bisa bermain dengan rasisme dan sejauh mana ia bisa berimajinasi.
Kalau saja Djenar dan kawan-kawannya mau berkreasi sedikit dan berusaha mempuitiskan perkataan vulgar yang terdapat dalam buku mereka. Tapi melihat dari gaya tutur Djenar sepanjang bukunya, memang hanya 8 dari 11 karya Djenar dalam bukunya ini yang berkutat dengan kata-kata vulgar.. akan tetapi... 3 cerpennya yang lain, berkutat dengan hedonisme dan depresi. Tampaknya memang tidak mungkin mereka berubah.
Hal ini berkorelasi dengan cerpen “Moral” yang bila kita lihat kalimat terakhirnya.
“Moral diobral lima ribu tiga di gedung DPR hari ini.”
Di jaman yang kita hidupi ini, moral sudah sangat tidak dihargai. Bahkan oleh petinggi negara. Apabila petingginya saja sudah bisa menjual moral seperti itu, bagaimana negara mau maju?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home